PROLOG
Uda Andre (Bang Andre), dan Uda Nopeng (Bang Nofan), merupakan narasumber dan sekaligus pemain atau aktor utama dalam kisah yang sempat menggemparkan beberapa stasiun televisi selama kurang lebih 7 (tujuh) hari, beberapa puluh tahun silam.
Dalam informasi berita yang tersiar, mungkin mereka dikabarkan sudah hilang selama 6 (enam) hari, karena mereka dinyatakan hilang satu hari setelah Firman, Uncu dan Iwan melapor. Sedangkan perjalanan tak tentu arah yang sebenarnya mereka alami adalah 7 (tujuh) hari.
Sudah lama ingin berbagi, sharing dengan mereka untuk membahas penggarapan Buku, namun selalu terbentur kesibukan masing-masing, alhasil, skrip lamanya dulu yang pernah Andre tulis kembali ia kirimkan padaku. Semoga kisah ini bisa menjadi pedoman dan Menambah wawasan kita, sekaligus menyadarkan kita bahwa "Tuhan tak Tidur!".
(*)
PADA TAHUN 2001, ada 7 hari dalam perjalanan hidupku yang membuat aku harus berhadapan dengan maut. Meski ada sedikit hal yang terlupa dari rentetan kronologis waktu tersesat tersebut, itu karena aku pernah berkeinginan mengubur kenangan pahit itu sedalam mungkin. Hingga tak ada salah seorangpun yang tahu, kecuali Nopeng. Tapi, akan ku usahakan untuk mengingat keras, sekaligus akan disempurnakan dalam bentuk buku dengan mengambil “cerita” dari teman-temanku yang juga ikut dalam petualangan tersebut. Tentu saja aku takkan lupa melibatkan sahabat yang menemaniku selama 7 hari dalam pencarian jalan pulang. Mengitari Pegunungan hingga keluar dari cengkeraman maut Gunung Merapi yang berada di Sumatera Barat, dan inilah versiku:
TUHAN, BERI AKU KESEMPATAN
Namaku Andre, ayahku bekerja di sebuah perusahaan BUMN, beliau termasuk orang yang keras dalam mendidik anak terutama anak lelaki. Namun demikian, menurutku beliau sungguh sangat demokratis.
Malangnya, ketika kelas 1 SMP aku pernah mengecewakannya, karena aku terpaksa di-DO (Drop Out) dari sekolah karena aku adu jotos dengan salah seorang guruku, yang menurutku seorang penjilat sejati. Akibat dari kenakalanku inilah aku harus menerima konsekwensi harus pindah ke Padang, Sumatera Barat, agar bisa naik ke kelas 2, tanpa harus mengulang. Di padang aku menyelesaikan masa SMP ku dengan lancar hingga kelas 2 SMU.
Aku dan noviandi yang seterusnya kupanggil -Nopeng, pernah membuat geger satu sekolah dan jadi pemberitaan di beberapa media massa, itu karena sepupu papaku ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), dimana pemberitaan tersebut sangat rutin memberitakan kami yang tersesat selama 7 hari di gunung merapi.
Mencintai dunia mendaki dan bergiat di alam bebas kumulai sejak kelas 1 SMA, dan aku telah mendaki gunung Singgalang sebanyak dua kali. Kegilaanku dengan hobi ini semakin menjadi-jadi sejak aku tergabung dalam salah satu ekstra kurikuler Siswa Pencinta Alam (SISPALA). Hobi yang sangat ditentang oleh Tanteku dan keluarganya. Setiap kali aku meminta izin untuk mendaki gunung, aku tak pernah mendapatkan izin. Namun, aku tetap mendaki, karena aku cinta Alam rimba, mencium bau tanah hutan, sejuknya udara yang menusuk kulit, suara alunan gemericik air, sambil menikmati kopi susu di puncak gunung, nikmatnya.
Tiga hari sebelum kejadian tersebut, aku dengan 4 orang kawanku, Nopeng, Uncu, Firman, dan Iwan yang juga tergabung dalam Sispala di sekolahku, berencana akan mendaki gunung merapi. Gunung yang memilki ketinggian 2891 Mdpl(meter dari permukaan laut). Gunung merapi ini adalah gunung kedua yang sangat ingin kudaki setelah dua kali berhasil mendaki Gunung Singgalang, yang rutenya lebih berat dibandingkan gunung merapi. Segala persiapan untuk mendakipun mulai dikumpulkan, hingga tibalah harinya, kami berangkat dari padang ketika matahari mulai terbenam, dengan naik bus menuju koto baru yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan, rute normal untuk mendaki gunung merapi. Setelah tiba di koto baru, udara dingin mulai menusuk tulang, kami makan dulu untuk mengumpulkan energi, dilanjutkan dengani shalat Isya di masjid Koto baru.
Sesudah shalat kami mulai melakukan pendakian. Baru 15 menit perjalanan, salah satu kawanku menanyakan kaca mata yang kukenakan, dan aku tersadar kalau kaca mata itu telah tertinggal di masjid tempat kami shalat tadi, dan salah satu dari kami pergi mencek ke mesjid tersebut, dan anehnya sudah tidak ada lagi...!
Dan perjalananpun dilanjutkan, kami juga mendaftarkan nama dipos pasanggrahan, tempat memulai pendakian gunung tersebut sekaligus membayar retribusi kepada penjaga pos, perjalananpun dilanjutkan. Sebenarnya sudah banyak hal aneh yang terjadi dalam perjalanan tersebut. Ketika aku berada di barisan paling belakang, seperti ada suara-suara yang berisik di belakangku, dan setiap aku menoleh ke belakang, tidak ada apa-apa dan hal tersebut juga dirasakan kawanku Firman, dan dia langsung menemaniku berjalanan beriringan di posisi belakang. Ketika menempuh jalan sempit dia yang mengantikan posisiku di belakang, kawanku ini punya kelebihan seperti ---indra keenam, tapi dia tidak membahasnya dalam perjalanan tersebut.
Matahari pagi mulai bersinar, kami sudah sampai di batas vegetasi atau cadas, puncak merapi pun telah kelihatan, Iwan dan aku yang pertama kali sampai di cadas tersebut, disusul Nopeng, Firman dan Uncu, yang selama perjalanan aku terus perang mulut dengan mereka. Kami beristirahat, masak dan mengisi energi, aku sendiri saat itu merasa tidak bisa mengontrol emosiku, aku lupa penyebabnya, hingga aku membuang salah satu periuk yang kami gunakan untuk memasak. Kemudian membawa tas sandang yang agak kosong, karena perlengkapan logistik kami sudah di keluarkan semuanya, aku membawa beberapa batang rokok. Kukatakan pada keempat kawanku kalau aku mau ke puncak, aku mulai menapaki jalan yang lebih kurang setengah jam menuju puncak merapi, kemudian terdengar Nopeng memanggilku, “Ndre aku ikutlah, *taik lah kau pergi sendiri-sendiri aja”
aku jawab ”hussst, mulut peng, di gunung ini, jaga mulutmu”
“Astaghfirullah” nopeng menjawab sambil menutup mulutnya, diapun kemudian menyusulku yang baru setengah jalan menuju puncak.
Kami tiba di kawasan puncak gunung tersebut, aku takjub, dan bahagia hilang segala penat, letih setelah berjalan hampir sepuluh jam. Aku melihat ada tugu salah seorang pendaki yang meninggal di gunung merapi namanya “Abel Tasman”. Menurut cerita dari pendaki-pendaki lain dia meninggal karena menyelamatkan seseorang yang terjebak di kawah gunung tersebut, secara reflek aku mencium tugu tersebut. Banyak pendaki-pendaki lain yang tersenyum kecil melihat ekspresi berlebihan ku saat itu.
Akhirnya aku dan Nopeng berjalan-jalan mengitari puncak yang terdapat banyak kawah-kawah hingga menuju puncak merpati, salah satu puncak yang top di gunung merapi. Beberapa menit kami diatas puncak sambil menikmati suasana merapi sejauh mata memandang terdampar permadani hijau, betul-betul menenangkan. Setelah menghabiskan rokok, aku dan nopeng melanjutkan perjalanan ke ladang Bunga Eidelweis, disinilah awal kisah nyata yang membuktikan bahwa Tuhan punya rencana sendiri terhadap kami berdua…
Kami mulai menuruni puncak Merpati, dan menuju ladang Eidelweis, tumbuhan misterius yang tumbuh di kawasan puncak gunung, dan setiap gunung menampilkan bentuk dan ciri khas masing-masing. Aku dan Nopeng dengan sigap dan penuh antusias memetik bunga abadi tersebut. Pada saat itu ada beberapa pendaki lainya yang juga memetik bunga tersebut, kami memetiknya seperti lupa waktu, setiap mata memandang kearah bunga tersebut, bunga tersebut terus memikat kami.
“Peng sudahlah cuma tinggal kita yang ada diladang ini” kataku pada Nopeng yang tetap semangat memetik bunga, hingga bunga tersebut penuh hampir setengah tas kami. Ketika kami ingin kembali turun, turunlah awan gelap yang membuat kami sulit mengingat kembali jalan kembali tersebut, kami berputar di sekitar kawasan puncak gunung merapi.
Perasaanku mulai tidak enak, Nopeng yang berada paling depan sibuk berputar-putar mencari jalan keluar, dan aku yang berada di belakang memanggilnya untuk berhenti dan tenang. ”Peng berhenti dulu, ayo kita berpikir dan menenangkan diri, kita sedang panik saat ini, Peng!"
Nopeng pun akhirnya menungguku dan kami duduk terdiam, “gimana selanjutnya Ndre?”
“Aku pun tak tahu, kita coba tunggu saja, mudah-mudahan kabut ini menghilang,” jawabku pasrah.
KABUT MULAI HILANG sedikit, nopeng kembali memimpin perjalanan. Kami berputar mencari jalan untuk turun ke bawah. Sampai suatu ketika kami melihat ada sekelompok pendaki jumlahnya aku lupa, mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Akupun bertanya pada mereka, ”Pak (panggilan khas ala pendaki) mau kemana?! kami juga lagi kehilangan arah” sambungku lagi,
“Kami mau turun Pak, lewat jalur Simabur, kalau Bapak mau ikut, boleh gabung bersama kami” tawarnya.
Jalur simabur merupakan jalur yang naik melewati daerah Simabur, Batusangkar Kabupaten Tanah Datar, sementara kami naik lewat koto baru daerah Padang Panjang. Kemudian aku menayakan pendapat si Nopeng ”gimana peng kita gabung aja?” tanyaku,
“gak usah ndre perasaanku tidak enak” jawab nopeng yang berdiri di belakangku.
Aku melihat ke kelompok tersebut, aneh juga, aku liat satu persatu pendaki itu yang laki-laki seperti tersnyum-senyum, sementara yang perempuan menangis sesenggukan, dan dengan berat hati aku mengikuti keputusan nopeng, untuk tidak ikut bergabung turun gunung bersama kelompok tersebut.
Perjalanan mencari jalan keluar kembali dipimpin oleh Nopeng, setelah lebih kurang 4 atau 5 jam (aku tak bisa memberi tahu waktu pasnya, meski si Nopeng memakai jam, tapi aku, dan dia pun tak ingat lagi perihal waktu, Karena panik) Nopeng menemukan satu jalan turun, yang menyerupai jalan cadas seperti waktu kami naik tadi. Meskipun kami sadar bahwa itu bukan jalannya, tapi aku ikuti saja.
Setelah penuh perjuangan dan beberapa kali aku terjatuh, kami tiba di sebuah jurang yang tidak begitu tinggi, tapi tetap saja kalau langsung lompat kaki bisa cedera. Nopeng yang turun pertama berhasil sampai kebawah. Dalam hatiku terbersit "kuat sekali anak ini", aku bingung tidak tahu mau turun lewat jalan mana, akhirnya Nopeng menunjukkan jalan mana yang harus kulewati, disaat itu timbul keisengan si Nopeng, di dalam tas yang kami ambil ada tustel, dia mengeluarkan tustel dan membiarkan ku tergantung di bibir jurang,
“Ndre ku poto kau dulu , ayo senyumlah”
kujawab ”Peng, udahlah gak usah becanda, kita udah hilang di gunung gini kau masih sempat becanda!”
“Kalau gak mau kau senyum gak kupegang kakimu supaya kau bisa turun”
aku ikuti saja kemauan si nopeng, dengan tersenyum kecut dengan gaya memelas, “klik”, dan aku pun di bantu turun sama si Nopeng, kemudian gantian, kini giliran dia yang meminta di foto olehku,
“nah sekarang gantian aku lagi yang kau poto ndre” lagi-lagi aku ikuti kemauanya, dan sesi poto-poto pun selesai.
Perjalanan pun di lanjutkan berkali-kali kami temui jalan curam namun mampu kami lewati, hingga kami bertemu lagi jurang kebawah yang lumayan tinggi. Nopeng yang pertama kali mencoba untuk turun, berhasil melewati jurang tersebut. Aku terdiam, kali ini sepertinya aku benar-benar tak mampu melewati jurang ini.
Saat mencoba berpikir bagaimana agar bisa turun, ketika itu tepat di sebelah kananku, di sebuah pohon tinggi, entah ilusi atau nyata, aku melihat sesosok tubuh hitam, awalnya aku tidak mengira kalau itu adalah sebangsa makhluk halus. Aku melihat ke arahnya, dia kemudian berdiri (aku menulis ini sambil bulu kudukku berdiri, inilah alasannya aku mau mengubur kenangan ini dalam-dalam, meskipun akhirnya kucoba untuk menulis ini, tidak lebih hanya karena ingin berbagi pengalaman),
nopeng yang awalnya senang karena mendengar informasiku bahwa ada orang di sana, “peng ada orang di atas pohon tingginya sama seperti manusia normal: ”ya udah panggil ndre”
belum selesai dia menyuruhku memanggil, aku langsung melanjutkan ”peng badannya hitam semua, dia menunjuk-nunjukku, seolah-olah ingin menyuruhku berbalik arah,”
nopeng langsung menjawab “ndre jangan dengar kan orang itu turunlah kau segera, dia bukan makhluk baik”.
Ditengah kepanikanku, “aku tidak tahu mau turun, dari mana peng? cepatlah dia mau turun seperti ingin menyusul kita, dia marah peng!!!” tambahku lagi.
Nopeng yang sudah di bawah tak bisa melihat si makhluk hitam tersebut, langsung menjawab ”lewat sini ndre”. Jalan yang ditunjuk Nopeng di sisi kiri jurang tersebut ada rumput dan tanaman-tanaman yang tumbuh menjalar ke bawah, tanpa banyak berfikir, aku nekat turun melewati jalan yang ditunjukkan Nopeng tersebut. Karena gravitasi, aku meluncur turun dengan tangan yang terus berpegang pada tanaman yang menjalar tersebut, entah bagaimana kejadiannya, posisiku langsung terbalik, kepalaku arah kebawah dan kakiku keatas.
Nopeng dengan sigap menyambutku dan sampailah aku di bawah dengan tangan lecet dan seluruh tubuhku dipenuhi tanah dan rerumputan yang menempel di tubuhku, “syukurlah kau masih selamat, ayo kita lanjutkan perjalanan ini,” kata nopeng yang langsung berjalan di depanku.
Akupun mengikutinya, tak lama berjalan, lagi-lagi kami bertemu jurang, kali ini nopeng mencoba turun ke bawah untuk melihat kondisi jurang tersebut, kemudian nopeng kembali sambil mengucapkan Ayat Kursi (ayat dalam kitab suci Al Qur’an), “Ada apa Peng?” tanyaku,
Nopeng, mulutnya sambil berkomat-kamit, menyebutkan bahwa dia baru saja melihat (Ya Allah, kembali bulu kudukku berdiri) "ada sesosok tubuh perempuan rambutnya keriting ndre, dia pakai rok tidak pakai baju, tidur tengkurap di dasar jurang”, aku pucat, dan terpaku, dalam hatiku “ya Tuhan, apa lagi ini?!”
(*)
1.7 Hari Tersesat di Gunung Merapi Part 2-3
Uda Andre (Bang Andre), dan Uda Nopeng (Bang Nofan), merupakan narasumber dan sekaligus pemain atau aktor utama dalam kisah yang sempat menggemparkan beberapa stasiun televisi selama kurang lebih 7 (tujuh) hari, beberapa puluh tahun silam.
Dalam informasi berita yang tersiar, mungkin mereka dikabarkan sudah hilang selama 6 (enam) hari, karena mereka dinyatakan hilang satu hari setelah Firman, Uncu dan Iwan melapor. Sedangkan perjalanan tak tentu arah yang sebenarnya mereka alami adalah 7 (tujuh) hari.
Sudah lama ingin berbagi, sharing dengan mereka untuk membahas penggarapan Buku, namun selalu terbentur kesibukan masing-masing, alhasil, skrip lamanya dulu yang pernah Andre tulis kembali ia kirimkan padaku. Semoga kisah ini bisa menjadi pedoman dan Menambah wawasan kita, sekaligus menyadarkan kita bahwa "Tuhan tak Tidur!".
(*)
PADA TAHUN 2001, ada 7 hari dalam perjalanan hidupku yang membuat aku harus berhadapan dengan maut. Meski ada sedikit hal yang terlupa dari rentetan kronologis waktu tersesat tersebut, itu karena aku pernah berkeinginan mengubur kenangan pahit itu sedalam mungkin. Hingga tak ada salah seorangpun yang tahu, kecuali Nopeng. Tapi, akan ku usahakan untuk mengingat keras, sekaligus akan disempurnakan dalam bentuk buku dengan mengambil “cerita” dari teman-temanku yang juga ikut dalam petualangan tersebut. Tentu saja aku takkan lupa melibatkan sahabat yang menemaniku selama 7 hari dalam pencarian jalan pulang. Mengitari Pegunungan hingga keluar dari cengkeraman maut Gunung Merapi yang berada di Sumatera Barat, dan inilah versiku:
TUHAN, BERI AKU KESEMPATAN
Namaku Andre, ayahku bekerja di sebuah perusahaan BUMN, beliau termasuk orang yang keras dalam mendidik anak terutama anak lelaki. Namun demikian, menurutku beliau sungguh sangat demokratis.
Malangnya, ketika kelas 1 SMP aku pernah mengecewakannya, karena aku terpaksa di-DO (Drop Out) dari sekolah karena aku adu jotos dengan salah seorang guruku, yang menurutku seorang penjilat sejati. Akibat dari kenakalanku inilah aku harus menerima konsekwensi harus pindah ke Padang, Sumatera Barat, agar bisa naik ke kelas 2, tanpa harus mengulang. Di padang aku menyelesaikan masa SMP ku dengan lancar hingga kelas 2 SMU.
Aku dan noviandi yang seterusnya kupanggil -Nopeng, pernah membuat geger satu sekolah dan jadi pemberitaan di beberapa media massa, itu karena sepupu papaku ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), dimana pemberitaan tersebut sangat rutin memberitakan kami yang tersesat selama 7 hari di gunung merapi.
Mencintai dunia mendaki dan bergiat di alam bebas kumulai sejak kelas 1 SMA, dan aku telah mendaki gunung Singgalang sebanyak dua kali. Kegilaanku dengan hobi ini semakin menjadi-jadi sejak aku tergabung dalam salah satu ekstra kurikuler Siswa Pencinta Alam (SISPALA). Hobi yang sangat ditentang oleh Tanteku dan keluarganya. Setiap kali aku meminta izin untuk mendaki gunung, aku tak pernah mendapatkan izin. Namun, aku tetap mendaki, karena aku cinta Alam rimba, mencium bau tanah hutan, sejuknya udara yang menusuk kulit, suara alunan gemericik air, sambil menikmati kopi susu di puncak gunung, nikmatnya.
Tiga hari sebelum kejadian tersebut, aku dengan 4 orang kawanku, Nopeng, Uncu, Firman, dan Iwan yang juga tergabung dalam Sispala di sekolahku, berencana akan mendaki gunung merapi. Gunung yang memilki ketinggian 2891 Mdpl(meter dari permukaan laut). Gunung merapi ini adalah gunung kedua yang sangat ingin kudaki setelah dua kali berhasil mendaki Gunung Singgalang, yang rutenya lebih berat dibandingkan gunung merapi. Segala persiapan untuk mendakipun mulai dikumpulkan, hingga tibalah harinya, kami berangkat dari padang ketika matahari mulai terbenam, dengan naik bus menuju koto baru yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan, rute normal untuk mendaki gunung merapi. Setelah tiba di koto baru, udara dingin mulai menusuk tulang, kami makan dulu untuk mengumpulkan energi, dilanjutkan dengani shalat Isya di masjid Koto baru.
Sesudah shalat kami mulai melakukan pendakian. Baru 15 menit perjalanan, salah satu kawanku menanyakan kaca mata yang kukenakan, dan aku tersadar kalau kaca mata itu telah tertinggal di masjid tempat kami shalat tadi, dan salah satu dari kami pergi mencek ke mesjid tersebut, dan anehnya sudah tidak ada lagi...!
Dan perjalananpun dilanjutkan, kami juga mendaftarkan nama dipos pasanggrahan, tempat memulai pendakian gunung tersebut sekaligus membayar retribusi kepada penjaga pos, perjalananpun dilanjutkan. Sebenarnya sudah banyak hal aneh yang terjadi dalam perjalanan tersebut. Ketika aku berada di barisan paling belakang, seperti ada suara-suara yang berisik di belakangku, dan setiap aku menoleh ke belakang, tidak ada apa-apa dan hal tersebut juga dirasakan kawanku Firman, dan dia langsung menemaniku berjalanan beriringan di posisi belakang. Ketika menempuh jalan sempit dia yang mengantikan posisiku di belakang, kawanku ini punya kelebihan seperti ---indra keenam, tapi dia tidak membahasnya dalam perjalanan tersebut.
Matahari pagi mulai bersinar, kami sudah sampai di batas vegetasi atau cadas, puncak merapi pun telah kelihatan, Iwan dan aku yang pertama kali sampai di cadas tersebut, disusul Nopeng, Firman dan Uncu, yang selama perjalanan aku terus perang mulut dengan mereka. Kami beristirahat, masak dan mengisi energi, aku sendiri saat itu merasa tidak bisa mengontrol emosiku, aku lupa penyebabnya, hingga aku membuang salah satu periuk yang kami gunakan untuk memasak. Kemudian membawa tas sandang yang agak kosong, karena perlengkapan logistik kami sudah di keluarkan semuanya, aku membawa beberapa batang rokok. Kukatakan pada keempat kawanku kalau aku mau ke puncak, aku mulai menapaki jalan yang lebih kurang setengah jam menuju puncak merapi, kemudian terdengar Nopeng memanggilku, “Ndre aku ikutlah, *taik lah kau pergi sendiri-sendiri aja”
aku jawab ”hussst, mulut peng, di gunung ini, jaga mulutmu”
“Astaghfirullah” nopeng menjawab sambil menutup mulutnya, diapun kemudian menyusulku yang baru setengah jalan menuju puncak.
Kami tiba di kawasan puncak gunung tersebut, aku takjub, dan bahagia hilang segala penat, letih setelah berjalan hampir sepuluh jam. Aku melihat ada tugu salah seorang pendaki yang meninggal di gunung merapi namanya “Abel Tasman”. Menurut cerita dari pendaki-pendaki lain dia meninggal karena menyelamatkan seseorang yang terjebak di kawah gunung tersebut, secara reflek aku mencium tugu tersebut. Banyak pendaki-pendaki lain yang tersenyum kecil melihat ekspresi berlebihan ku saat itu.
Akhirnya aku dan Nopeng berjalan-jalan mengitari puncak yang terdapat banyak kawah-kawah hingga menuju puncak merpati, salah satu puncak yang top di gunung merapi. Beberapa menit kami diatas puncak sambil menikmati suasana merapi sejauh mata memandang terdampar permadani hijau, betul-betul menenangkan. Setelah menghabiskan rokok, aku dan nopeng melanjutkan perjalanan ke ladang Bunga Eidelweis, disinilah awal kisah nyata yang membuktikan bahwa Tuhan punya rencana sendiri terhadap kami berdua…
Kami mulai menuruni puncak Merpati, dan menuju ladang Eidelweis, tumbuhan misterius yang tumbuh di kawasan puncak gunung, dan setiap gunung menampilkan bentuk dan ciri khas masing-masing. Aku dan Nopeng dengan sigap dan penuh antusias memetik bunga abadi tersebut. Pada saat itu ada beberapa pendaki lainya yang juga memetik bunga tersebut, kami memetiknya seperti lupa waktu, setiap mata memandang kearah bunga tersebut, bunga tersebut terus memikat kami.
“Peng sudahlah cuma tinggal kita yang ada diladang ini” kataku pada Nopeng yang tetap semangat memetik bunga, hingga bunga tersebut penuh hampir setengah tas kami. Ketika kami ingin kembali turun, turunlah awan gelap yang membuat kami sulit mengingat kembali jalan kembali tersebut, kami berputar di sekitar kawasan puncak gunung merapi.
Perasaanku mulai tidak enak, Nopeng yang berada paling depan sibuk berputar-putar mencari jalan keluar, dan aku yang berada di belakang memanggilnya untuk berhenti dan tenang. ”Peng berhenti dulu, ayo kita berpikir dan menenangkan diri, kita sedang panik saat ini, Peng!"
Nopeng pun akhirnya menungguku dan kami duduk terdiam, “gimana selanjutnya Ndre?”
“Aku pun tak tahu, kita coba tunggu saja, mudah-mudahan kabut ini menghilang,” jawabku pasrah.
KABUT MULAI HILANG sedikit, nopeng kembali memimpin perjalanan. Kami berputar mencari jalan untuk turun ke bawah. Sampai suatu ketika kami melihat ada sekelompok pendaki jumlahnya aku lupa, mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Akupun bertanya pada mereka, ”Pak (panggilan khas ala pendaki) mau kemana?! kami juga lagi kehilangan arah” sambungku lagi,
“Kami mau turun Pak, lewat jalur Simabur, kalau Bapak mau ikut, boleh gabung bersama kami” tawarnya.
Jalur simabur merupakan jalur yang naik melewati daerah Simabur, Batusangkar Kabupaten Tanah Datar, sementara kami naik lewat koto baru daerah Padang Panjang. Kemudian aku menayakan pendapat si Nopeng ”gimana peng kita gabung aja?” tanyaku,
“gak usah ndre perasaanku tidak enak” jawab nopeng yang berdiri di belakangku.
Aku melihat ke kelompok tersebut, aneh juga, aku liat satu persatu pendaki itu yang laki-laki seperti tersnyum-senyum, sementara yang perempuan menangis sesenggukan, dan dengan berat hati aku mengikuti keputusan nopeng, untuk tidak ikut bergabung turun gunung bersama kelompok tersebut.
Perjalanan mencari jalan keluar kembali dipimpin oleh Nopeng, setelah lebih kurang 4 atau 5 jam (aku tak bisa memberi tahu waktu pasnya, meski si Nopeng memakai jam, tapi aku, dan dia pun tak ingat lagi perihal waktu, Karena panik) Nopeng menemukan satu jalan turun, yang menyerupai jalan cadas seperti waktu kami naik tadi. Meskipun kami sadar bahwa itu bukan jalannya, tapi aku ikuti saja.
Setelah penuh perjuangan dan beberapa kali aku terjatuh, kami tiba di sebuah jurang yang tidak begitu tinggi, tapi tetap saja kalau langsung lompat kaki bisa cedera. Nopeng yang turun pertama berhasil sampai kebawah. Dalam hatiku terbersit "kuat sekali anak ini", aku bingung tidak tahu mau turun lewat jalan mana, akhirnya Nopeng menunjukkan jalan mana yang harus kulewati, disaat itu timbul keisengan si Nopeng, di dalam tas yang kami ambil ada tustel, dia mengeluarkan tustel dan membiarkan ku tergantung di bibir jurang,
“Ndre ku poto kau dulu , ayo senyumlah”
kujawab ”Peng, udahlah gak usah becanda, kita udah hilang di gunung gini kau masih sempat becanda!”
“Kalau gak mau kau senyum gak kupegang kakimu supaya kau bisa turun”
aku ikuti saja kemauan si nopeng, dengan tersenyum kecut dengan gaya memelas, “klik”, dan aku pun di bantu turun sama si Nopeng, kemudian gantian, kini giliran dia yang meminta di foto olehku,
“nah sekarang gantian aku lagi yang kau poto ndre” lagi-lagi aku ikuti kemauanya, dan sesi poto-poto pun selesai.
Perjalanan pun di lanjutkan berkali-kali kami temui jalan curam namun mampu kami lewati, hingga kami bertemu lagi jurang kebawah yang lumayan tinggi. Nopeng yang pertama kali mencoba untuk turun, berhasil melewati jurang tersebut. Aku terdiam, kali ini sepertinya aku benar-benar tak mampu melewati jurang ini.
Saat mencoba berpikir bagaimana agar bisa turun, ketika itu tepat di sebelah kananku, di sebuah pohon tinggi, entah ilusi atau nyata, aku melihat sesosok tubuh hitam, awalnya aku tidak mengira kalau itu adalah sebangsa makhluk halus. Aku melihat ke arahnya, dia kemudian berdiri (aku menulis ini sambil bulu kudukku berdiri, inilah alasannya aku mau mengubur kenangan ini dalam-dalam, meskipun akhirnya kucoba untuk menulis ini, tidak lebih hanya karena ingin berbagi pengalaman),
nopeng yang awalnya senang karena mendengar informasiku bahwa ada orang di sana, “peng ada orang di atas pohon tingginya sama seperti manusia normal: ”ya udah panggil ndre”
belum selesai dia menyuruhku memanggil, aku langsung melanjutkan ”peng badannya hitam semua, dia menunjuk-nunjukku, seolah-olah ingin menyuruhku berbalik arah,”
nopeng langsung menjawab “ndre jangan dengar kan orang itu turunlah kau segera, dia bukan makhluk baik”.
Ditengah kepanikanku, “aku tidak tahu mau turun, dari mana peng? cepatlah dia mau turun seperti ingin menyusul kita, dia marah peng!!!” tambahku lagi.
Nopeng yang sudah di bawah tak bisa melihat si makhluk hitam tersebut, langsung menjawab ”lewat sini ndre”. Jalan yang ditunjuk Nopeng di sisi kiri jurang tersebut ada rumput dan tanaman-tanaman yang tumbuh menjalar ke bawah, tanpa banyak berfikir, aku nekat turun melewati jalan yang ditunjukkan Nopeng tersebut. Karena gravitasi, aku meluncur turun dengan tangan yang terus berpegang pada tanaman yang menjalar tersebut, entah bagaimana kejadiannya, posisiku langsung terbalik, kepalaku arah kebawah dan kakiku keatas.
Nopeng dengan sigap menyambutku dan sampailah aku di bawah dengan tangan lecet dan seluruh tubuhku dipenuhi tanah dan rerumputan yang menempel di tubuhku, “syukurlah kau masih selamat, ayo kita lanjutkan perjalanan ini,” kata nopeng yang langsung berjalan di depanku.
Akupun mengikutinya, tak lama berjalan, lagi-lagi kami bertemu jurang, kali ini nopeng mencoba turun ke bawah untuk melihat kondisi jurang tersebut, kemudian nopeng kembali sambil mengucapkan Ayat Kursi (ayat dalam kitab suci Al Qur’an), “Ada apa Peng?” tanyaku,
Nopeng, mulutnya sambil berkomat-kamit, menyebutkan bahwa dia baru saja melihat (Ya Allah, kembali bulu kudukku berdiri) "ada sesosok tubuh perempuan rambutnya keriting ndre, dia pakai rok tidak pakai baju, tidur tengkurap di dasar jurang”, aku pucat, dan terpaku, dalam hatiku “ya Tuhan, apa lagi ini?!”
(*)
Nice artikel
BalasHapuswah nice info gan
BalasHapusmerinding gan bacanya @-) kalau digunung rata rata emng serem semua @-)
BalasHapuskalo kesasar di gunung bahaya ama binatang
BalasHapusWah, mengerikan gan pas Kesasar diGunung hihi
BalasHapusNice gan bagus ceritanya
BalasHapus