Kejadian beberapa hari lalu masih bikin gw gagal tidur setiap malam.
Gw belum lama pindah rumah. Merantau di kota besar dan hidup sebagai seorang karyawan membuat jalan hidup gw tak jauh beda dengan karyawan lain. Bermula dari kos, beralih ke mengontrak rumah, hingga kemudian menjadi ‘kewajiban’ untuk mulai mencicil rumah. Harga rumah terus naik. Lebih baik bayar cicilan bank daripada bayar kontrakan. Yah, semacam itulah pendapat yang sering didengar dikalangan para karyawan, karena tentu saja, orang seperti kami tak akan mampu membeli rumah secara tunai.
Gw pindah dengan bantuan teman-teman. Belum banyak barang yang gw punya, jadi kami hanya memindahkan barang-barangnya dengan motor. Dan itu membuat rumah gw masih terasa begitu longgar. Ruang tengah hanya gw isi dengan tivi dan parkir motor. Kamar tidur depan gw jadikan tempat menaruh komputer dan lemari pakaian, sementara kamar tidur belakang hanya untuk dispenser dan kardus-kardus tak terpakai. Kulkas dan peralatan rumah tangga lain menyusul setelah gajian tiba.
Rumah gw adalah rumah yang paling pojok. Pojok dalam artian sepojok-pojoknya. Itu artinya rumah gw berbatasan dengan kebun lebat dan tak terurus yang kabarnya kepemilikan tanahnya masih belum dilepas untuk dibeli pihak developer. Dan karena komplek ini masih baru, jadi belum semua rumah berpenghuni, termasuk rumah sebelah yang berbagi tembok dengan rumah gw ini.
Bisa dibilang, gw juga gak punya tetangga. Di depan memang ada rumah, tapi rumah itu menghadap ke sisi lain. Dan keberadaan tanah sisa (hook) di rumah tersebut membuat rumah gw hanya berhadapan dengan tanah kosong berumput tinggi—bukannya berhadapan muka seperti rumah lain.
Benar, rumah gw begitu terpencil, dan itu bukan tanpa alasan. Gw sengaja memilihnya karena selain punya sedikit hook, gw juga mempertimbangkan keadaan di masa depan. Gw gak pingin hidup sumpek berdempet-dempetan dengan penghuni lain saat perumahan ini mulai ramai nanti. Yap, gw sama sekali tidak menghubungkannya dengan hal-hal mistis saat memiilih rumah paling pojok ini.
Gw juga sering nonton film-film horor, atau baca-baca cerita seram di kaskus atau reddit ataupun tempat-tempat lain di internet. Tapi sejujurnya, kalian pasti sadar bahwa sebagian besar dari diri kalian pasti bilang bahwa semua itu hanyalah sebuah cerita, dan itu jauh dari kehidupan yang kalian jalani. Gw percaya hal-hal seperti itu ada, tapi gw bukan indigo seperti orang-orang dalam cerita itu, yang akan terus-terusan ketemu setan di sepanjang hidup mereka. Lagipula gw belum pernah mengalami sendiri peristiwa semacam itu di sepanjang 24 tahun hidup gw ini. Jadi gw pikir itu hanya sugesti semata saat kalian takut dengan hal-hal yang kalian sendiri bahkan tak pernah menjumpainya.
Sebelum resmi menempati, seperti layaknya orang-orang, gw mengadakan sedikit syukuran bersama beberapa teman. Hanya saja gw tidak mendatangkan ustadz untuk mendoakannya. Gw tak ingin bersikap seolah-olah rumah ini berhantu. Gw hanya memesan paket nasi kotak dan mengundang beberapa teman lalu memberikan sebagian lagi ke beberapa rumah tetangga yang sudah berpenghuni.
Tentu saja teman-teman tak berhenti menggoda. Memanfaatkan posisi rumah gw yang terisolasi, mereka mulai mengarang hal-hal yang kemungkinan akan terjadi di malam pertama gw bermalam. Mulai dari ketukan jendela di malam hari (karena ada jendela samping yang mengarah ke kebun tak terurus itu), tamu tak dikenal yang bakal dateng tengah malem, sampai menyebut cangkul tak bertuan yang tergeletak di belakang rumah gw sebagai kepunyaan si kakek cangkul yang ketinggalan.
“Ah, gw udah pernah bermalam dulu dan gak ada apa-apa,” kata gw saat itu.
“Kapan?”
“Dulu waktu bokap dateng en pingin liat rumahnya,” jawab gw jujur. “Gw tidur di sini sama bokap.”
“Itu mah masih berdua ya gak diitung lah, masih trial itungannya,” kata salah satu temen yang gak mau kalah. “Coba deh tar malem. Yang udah resmi lo tempatin dan lo sendirian. Haha. Tenang aja, gw siap kok denger curhatan lo.”
“Gak papa, bos. Itung-itung dapet kenalan baru,” timpal teman yang lain. “Sukur-sukur bisa diajakin nonton bola bareng kalo malem,” katanya sambil ngakak.
Gw hanya tersenyum hambar sambil melanjutkan makan. Semua itu terdengar konyol saat diobrolkan di siang bolong.
**
Nyatanya, semua berubah begitu malam tiba. Dan inilah malam pertama gw.
Jam 22.00 suasana sudah sangat sepi. Sangat beda dengan jamannya ngontrak dulu. Gak ada lagi orang setelah tukang bajigur lewat setengah jam lalu. Akhirnya gw matikan tivi, kunci semua pintu, dan masuk ke kamar. Cerita-cerita karangan temen gw jadi terbayang silih berganti di dalam kepala. Gw jadi was-was sama gorden di belakang punggung gw saat lagi main komputer, was-was sama pintu yang bakal diketuk tiba-tiba oleh entah apa, bahkan gw udah mindahin cangkul tak bertuan tadi ke rumah kosong di sebelah. Takut kalo-kalo ada suara orang nyangkul di belakang rumah tengah malam.
Jam 23.00 gw matikan komputer dan siap-siap tidur. Gw belum terbiasa dengan suasana ini. Ini kebangetan sepinya. Bahkan gw sampai bisa denger suara angin dan dahan-dahan pohon di kebun sebelah!
Akhirnya gw lakukan kebiasaan lama. Gw sumpel kuping gw pake hetset dan perlahan, jatuhlah gw tertidur.
Gw terbangun di tengah malam oleh suara yang begitu mengganggu.
‘Dug... dug... dug...’
Anjrit.
Gw langsung duduk. Kantuk gw lenyap seketika.
‘Dug... dug... dug...’
Seperti suara orang yang menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. ‘Dug... dug...dug...’ Tapi setelah gw perhatikan ternyata itu suara pintu kamar gw.
Gw memang menutupnya sebelum tidur tadi, karena selalu ngebayangin ada orang yang seliweran di depan tipi, dan sekarang pintu yang tertutup itu sedang bergerak-gerak pelan, ‘Dug... dug... dug...’
Kalian pasti tahu kan seperti apa hasil kerja kontraktor perumahan. Itu cuma pintu papan, yang bingkai dan daun pintunya bahkan tidak pas, jadi wajar saja jika angin akan membuat pintu yang longgar seperti itu bergerak-gerak sendiri.
Tapi kan ini pintu kamar! Di tengah ruangan! Terus ada angin dari mana?!
Gw ogah mendengarkan kata hati gw. Pokoknya itu angin. Gw gak mau repot-repot ngebuka pintu dan mengecek apa yang ada di seberang, apakah beneran angin atau... yang lain.
Gw ngambil ransel dari gantungan dan menyandarkannya ke pintu.
Pintu itu langsung diam.
Gw kembali ke atas kasur tipis gw, memainkan lagi musik lewat hetset, memaksakan diri untuk kembali tidur. Baru jam 01.00. Pagi masih panjang.
Anyway, kejadian itu berlangsung hingga tiga kali dalam tiga percobaan yang gw lakukan. Pintu kamar selalu bergerak ‘Dug... dug... dug...’ setiap gw tutup di malam hari. Hingga akhirnya, hari itu gw boyong kasur gw ke depan tipi di ruang tengah. Selain pintu ‘kena angin’, gw juga merasa tak nyaman dengan jendela samping yang mengarah ke kebun sebelah. Sampai detik itu gw masih percaya bahwa yang membuat gw takut hanya sugesti gw sendiri.
Pintu kamar sudah tak lagi bergerak-gerak karena kamar tidur gw biarkan terbuka dan gw tidur di kamar tengah sekarang. Tapi malam itu, lagi-lagi gw terbangun di tengah malam gara-gara suara yang mengganggu. Kali ini ada ketukan yang datang dari balik pintu kamar mandi yang posisinya ada di belakang tivi. Bukan ketukan kencang, hanya seperti ada orang yang menyentilkan jari ke pintu. ‘Ctak... ctak... ctak...’
Brengsek.
Gw bangun. Tivi gw nyalain biar suasana sedikit ramai. Gw berjalan ke depan pintu kamar mandi. Mengamati.
‘Ctak... ctak... ctak...’
Gw nyalain lampu kamar mandi.
Suara itu berhenti.
‘JDAK!’
Gw hampir lompat gara-gara kaget. Emosi, gw gedor pintunya. Cuma sekali tapi cukup keras.
Meski suara hati gw mengatakan bukan, gw tetep meyakinkan diri jika itu hanyalah cicak yang menamparkan ekornya ke pintu. Gw gak ingin sugesti negatif dari cerita-cerita seram yang pernah gw baca menguasai akal sehat gw.
Tapi cicak gak akan bisa sekeras itu!
Menuruti rasa penasaran, menarik napas dalam-dalam, gw putar handel pintu itu lalu gw dorong hingga terbuka...
Tak ada apapun. Cuma gayung dan perlengkapan mandi yang memang harusnya ada di sana. Tak ada cicak atau... apapun.
Gw bergegas kembali ke kasur, berkonsentrasi ke tivi agar tak perlu membayangkan apa yang ada di dalam kamar mandi. Gw jadi ingat sama cerita tentang orang yang melihat ‘sesuatu’ di kamar mandi mereka.
Gw biarkan lampu kamar mandi menyala hingga pagi.
**
Gw semakin berani dalam menghadapi malam. Tapi diam-diam gw juga makin takut karena, seperti dalam cerita, suara-suara adalah awal sebelum datang yang namanya... yah, sesuatu yang kelihatan. Kalian tahu apa sebutannya.
Hal baru yang datang berikutnya adalah suara ‘Gludug-gludug’ di atas plafon. Benar, itu pasti hanya kucing atau, jika tidak, tikus yang sangat besar. Kontrakan gw sebelumnya juga ada yang seperti ini. Hanya saja suara yang ini sedikit beda. Yang ini tidak terdengar seperti langkah tikus yang sedang berlari, namun lebih seperti sesuatu yang menggelinding pelan, ‘gludug... gludug... gludug...’
Bahkan gw sangat yakin malam itu si ‘gludug-gludug’ berhenti tepat di atas gw tidur.
Itu hanya tikus yang sedang jalan-jalan. Titik.
**
Sudah hampir dua minggu gw berhasil melewati malam di rumah baru ini. Gw sama sekali tak menceritakan pengalaman-pengalaman gw pada teman-teman, karena gw yakin itu semua hanya sugesti. Dan menceritakan pada mereka bisa berarti gw mengakui bahwa gw sedang diganggu.
Saat itu malam minggu. Gw termasuk orang yang malas keluar karena bakal ketemu macet. Jadi malam itu gw habiskan dengan main game sambil nunggu kick off klub bola favorit gw dimulai.
Hampir tengah malam ketika gw mematikan komputer untuk pindah ke depan tivi dan hujan mulai mengguyur atap-atap rumah. Cukup deras. Gw sampai kesulitan mendengarkan obrolan komentator di tivi. Sesekali guntur bergemuruh. Lalu, samar-samar, gw mendengarnya...
Tangis bayi.
Anjrit. Apa lagi ini.
Dari suara-suara yang gw dengar selama ini, suara inilah yang paling membuat gw takut setengah mati. Bulu kuduk gw langsung berdiri dan jantung gw mendadak gedor-gedor tak jelas.
Itu cuma kucing, bego! Kucing emang suka seperti itu suaranya kalo malem.
Benar. Itu hanya kucing. Ini cuma sugesti. Sugesti gara-gara gw ketakutan di rumah sendirian. Sugesti gara-gara gw senang baca cerita-cerita hantu padahal gw penakut.
Antara yakin dan tidak, gw menajamkan telinga. Suara itu hilang timbul, bercampur dengan derasnya hujan, datang dari kebun samping sepertinya. Gw semakin merinding. Gw bisa mendengarkan darah gw sendiri yang kini bergemuruh di telinga, degup jantung yang dua kali lebih cepat, dan tubuh yang rasanya seperti diguyur air. Gw komat-kamit baca doa.
Gw ketakutan.
Gw berlari ke kamar untuk ngambil hetset dan gw lakukan apa yang selalu gw lakukan selama ini.
**
Paginya gw terbangun sekitar jam 06.00. Buru-buru gw ambil wudhu dan ngejar sholat subuh.
Ada suara-suara di luar. Mungkin ada kerja bakti?
Gw membuka pintu dengan malas. Dan apa yang gw temukan selanjutnya langsung membuat sekujur tubuh gw gemetaran. Orang-orang sedang berkumpul di kebun samping rumah gw, berdengung ramai, ada pedagang keliling yang berhenti, ada ibu-ibu yang hendak berbelanja berhenti, ada mobil polisi, beberapa polisi...
Gw sudah tahu sebelum ikut melihat apa yang sedang mereka lihat. Gw sudah tahu sebelum mereka semua berkumpul di sana. Sebelum ada yang menemukannya...
Petugas sedang mengambil beberapa foto, tak kuasa menahan beberapa warga yang ikut-ikutan mengambil gambar dengan ponsel mereka. Gw melihat ketika kardus yang rusak dan penuh air itu diangkat dari dalam selokan. Gw tak ingin lihat apa yang ada di dalamnya.
Polisi mendatangi rumah gw beberapa saat kemudian, menanyai ini-itu sementara gw menjawab dengan mata berair dan suara bergetar. Mereka tidak menyalahkan gw. Ada warga lain yang juga mendengar tangisnya. Seseorang yang mengaku wartawan datang setelahnya. Gw menjawab pertanyaannya tapi tidak memberinya izin untuk menulis tentang gw di berita mereka. Gw menolak wartawan lain yang datang setelahnya.
Mereka bilang bayi mungil itu masih hidup saat seseorang meletakkannya di kebun di samping rumah gw. Tapi hujan turun dengan derasnya sebelum ada orang yang sempat melihat untuk menyelamatkannya. Air hujan mengisi kardus si bayi sedikit demi sedikit. Beban yang bertambah dan permukaan landai membuat kardus itu meluncur masuk selokan. Itu selokan yang kecil dan penuh dengan ranting karena tak pernah dibersihkan. Kardus itu tertahan di sana sementara air terus meninggi. Si bayi semalaman di dalamnya. Di bawah guyuran hujan yang katanya baru reda sekitar pukul 03.00.
Gw tak tahu berapa lama dia sanggup bertahan sebelum air akhirnya menghentikan tangisnya untuk selamanya.
Andaikan gw tak termakan sugesti. Andaikan gw bukan penakut. Andaikan gw mau mengambil payung dan memeriksa barang sebentar saja...
Gw masih tak bisa tidur. Tak peduli gw sumpal kuping gw pakai hetset atau tidak, suara itu terus saja terdengar.
Tuliskan Cerita Horor kamu dapatkan 15 Ribu
Gw belum lama pindah rumah. Merantau di kota besar dan hidup sebagai seorang karyawan membuat jalan hidup gw tak jauh beda dengan karyawan lain. Bermula dari kos, beralih ke mengontrak rumah, hingga kemudian menjadi ‘kewajiban’ untuk mulai mencicil rumah. Harga rumah terus naik. Lebih baik bayar cicilan bank daripada bayar kontrakan. Yah, semacam itulah pendapat yang sering didengar dikalangan para karyawan, karena tentu saja, orang seperti kami tak akan mampu membeli rumah secara tunai.
Gw pindah dengan bantuan teman-teman. Belum banyak barang yang gw punya, jadi kami hanya memindahkan barang-barangnya dengan motor. Dan itu membuat rumah gw masih terasa begitu longgar. Ruang tengah hanya gw isi dengan tivi dan parkir motor. Kamar tidur depan gw jadikan tempat menaruh komputer dan lemari pakaian, sementara kamar tidur belakang hanya untuk dispenser dan kardus-kardus tak terpakai. Kulkas dan peralatan rumah tangga lain menyusul setelah gajian tiba.
Rumah gw adalah rumah yang paling pojok. Pojok dalam artian sepojok-pojoknya. Itu artinya rumah gw berbatasan dengan kebun lebat dan tak terurus yang kabarnya kepemilikan tanahnya masih belum dilepas untuk dibeli pihak developer. Dan karena komplek ini masih baru, jadi belum semua rumah berpenghuni, termasuk rumah sebelah yang berbagi tembok dengan rumah gw ini.
Bisa dibilang, gw juga gak punya tetangga. Di depan memang ada rumah, tapi rumah itu menghadap ke sisi lain. Dan keberadaan tanah sisa (hook) di rumah tersebut membuat rumah gw hanya berhadapan dengan tanah kosong berumput tinggi—bukannya berhadapan muka seperti rumah lain.
Benar, rumah gw begitu terpencil, dan itu bukan tanpa alasan. Gw sengaja memilihnya karena selain punya sedikit hook, gw juga mempertimbangkan keadaan di masa depan. Gw gak pingin hidup sumpek berdempet-dempetan dengan penghuni lain saat perumahan ini mulai ramai nanti. Yap, gw sama sekali tidak menghubungkannya dengan hal-hal mistis saat memiilih rumah paling pojok ini.
Gw juga sering nonton film-film horor, atau baca-baca cerita seram di kaskus atau reddit ataupun tempat-tempat lain di internet. Tapi sejujurnya, kalian pasti sadar bahwa sebagian besar dari diri kalian pasti bilang bahwa semua itu hanyalah sebuah cerita, dan itu jauh dari kehidupan yang kalian jalani. Gw percaya hal-hal seperti itu ada, tapi gw bukan indigo seperti orang-orang dalam cerita itu, yang akan terus-terusan ketemu setan di sepanjang hidup mereka. Lagipula gw belum pernah mengalami sendiri peristiwa semacam itu di sepanjang 24 tahun hidup gw ini. Jadi gw pikir itu hanya sugesti semata saat kalian takut dengan hal-hal yang kalian sendiri bahkan tak pernah menjumpainya.
Sebelum resmi menempati, seperti layaknya orang-orang, gw mengadakan sedikit syukuran bersama beberapa teman. Hanya saja gw tidak mendatangkan ustadz untuk mendoakannya. Gw tak ingin bersikap seolah-olah rumah ini berhantu. Gw hanya memesan paket nasi kotak dan mengundang beberapa teman lalu memberikan sebagian lagi ke beberapa rumah tetangga yang sudah berpenghuni.
Tentu saja teman-teman tak berhenti menggoda. Memanfaatkan posisi rumah gw yang terisolasi, mereka mulai mengarang hal-hal yang kemungkinan akan terjadi di malam pertama gw bermalam. Mulai dari ketukan jendela di malam hari (karena ada jendela samping yang mengarah ke kebun tak terurus itu), tamu tak dikenal yang bakal dateng tengah malem, sampai menyebut cangkul tak bertuan yang tergeletak di belakang rumah gw sebagai kepunyaan si kakek cangkul yang ketinggalan.
“Ah, gw udah pernah bermalam dulu dan gak ada apa-apa,” kata gw saat itu.
“Kapan?”
“Dulu waktu bokap dateng en pingin liat rumahnya,” jawab gw jujur. “Gw tidur di sini sama bokap.”
“Itu mah masih berdua ya gak diitung lah, masih trial itungannya,” kata salah satu temen yang gak mau kalah. “Coba deh tar malem. Yang udah resmi lo tempatin dan lo sendirian. Haha. Tenang aja, gw siap kok denger curhatan lo.”
“Gak papa, bos. Itung-itung dapet kenalan baru,” timpal teman yang lain. “Sukur-sukur bisa diajakin nonton bola bareng kalo malem,” katanya sambil ngakak.
Gw hanya tersenyum hambar sambil melanjutkan makan. Semua itu terdengar konyol saat diobrolkan di siang bolong.
**
Nyatanya, semua berubah begitu malam tiba. Dan inilah malam pertama gw.
Jam 22.00 suasana sudah sangat sepi. Sangat beda dengan jamannya ngontrak dulu. Gak ada lagi orang setelah tukang bajigur lewat setengah jam lalu. Akhirnya gw matikan tivi, kunci semua pintu, dan masuk ke kamar. Cerita-cerita karangan temen gw jadi terbayang silih berganti di dalam kepala. Gw jadi was-was sama gorden di belakang punggung gw saat lagi main komputer, was-was sama pintu yang bakal diketuk tiba-tiba oleh entah apa, bahkan gw udah mindahin cangkul tak bertuan tadi ke rumah kosong di sebelah. Takut kalo-kalo ada suara orang nyangkul di belakang rumah tengah malam.
Jam 23.00 gw matikan komputer dan siap-siap tidur. Gw belum terbiasa dengan suasana ini. Ini kebangetan sepinya. Bahkan gw sampai bisa denger suara angin dan dahan-dahan pohon di kebun sebelah!
Akhirnya gw lakukan kebiasaan lama. Gw sumpel kuping gw pake hetset dan perlahan, jatuhlah gw tertidur.
Gw terbangun di tengah malam oleh suara yang begitu mengganggu.
‘Dug... dug... dug...’
Anjrit.
Gw langsung duduk. Kantuk gw lenyap seketika.
‘Dug... dug... dug...’
Seperti suara orang yang menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. ‘Dug... dug...dug...’ Tapi setelah gw perhatikan ternyata itu suara pintu kamar gw.
Gw memang menutupnya sebelum tidur tadi, karena selalu ngebayangin ada orang yang seliweran di depan tipi, dan sekarang pintu yang tertutup itu sedang bergerak-gerak pelan, ‘Dug... dug... dug...’
Kalian pasti tahu kan seperti apa hasil kerja kontraktor perumahan. Itu cuma pintu papan, yang bingkai dan daun pintunya bahkan tidak pas, jadi wajar saja jika angin akan membuat pintu yang longgar seperti itu bergerak-gerak sendiri.
Tapi kan ini pintu kamar! Di tengah ruangan! Terus ada angin dari mana?!
Gw ogah mendengarkan kata hati gw. Pokoknya itu angin. Gw gak mau repot-repot ngebuka pintu dan mengecek apa yang ada di seberang, apakah beneran angin atau... yang lain.
Gw ngambil ransel dari gantungan dan menyandarkannya ke pintu.
Pintu itu langsung diam.
Gw kembali ke atas kasur tipis gw, memainkan lagi musik lewat hetset, memaksakan diri untuk kembali tidur. Baru jam 01.00. Pagi masih panjang.
Anyway, kejadian itu berlangsung hingga tiga kali dalam tiga percobaan yang gw lakukan. Pintu kamar selalu bergerak ‘Dug... dug... dug...’ setiap gw tutup di malam hari. Hingga akhirnya, hari itu gw boyong kasur gw ke depan tipi di ruang tengah. Selain pintu ‘kena angin’, gw juga merasa tak nyaman dengan jendela samping yang mengarah ke kebun sebelah. Sampai detik itu gw masih percaya bahwa yang membuat gw takut hanya sugesti gw sendiri.
Pintu kamar sudah tak lagi bergerak-gerak karena kamar tidur gw biarkan terbuka dan gw tidur di kamar tengah sekarang. Tapi malam itu, lagi-lagi gw terbangun di tengah malam gara-gara suara yang mengganggu. Kali ini ada ketukan yang datang dari balik pintu kamar mandi yang posisinya ada di belakang tivi. Bukan ketukan kencang, hanya seperti ada orang yang menyentilkan jari ke pintu. ‘Ctak... ctak... ctak...’
Brengsek.
Gw bangun. Tivi gw nyalain biar suasana sedikit ramai. Gw berjalan ke depan pintu kamar mandi. Mengamati.
‘Ctak... ctak... ctak...’
Gw nyalain lampu kamar mandi.
Suara itu berhenti.
‘JDAK!’
Gw hampir lompat gara-gara kaget. Emosi, gw gedor pintunya. Cuma sekali tapi cukup keras.
Meski suara hati gw mengatakan bukan, gw tetep meyakinkan diri jika itu hanyalah cicak yang menamparkan ekornya ke pintu. Gw gak ingin sugesti negatif dari cerita-cerita seram yang pernah gw baca menguasai akal sehat gw.
Tapi cicak gak akan bisa sekeras itu!
Menuruti rasa penasaran, menarik napas dalam-dalam, gw putar handel pintu itu lalu gw dorong hingga terbuka...
Tak ada apapun. Cuma gayung dan perlengkapan mandi yang memang harusnya ada di sana. Tak ada cicak atau... apapun.
Gw bergegas kembali ke kasur, berkonsentrasi ke tivi agar tak perlu membayangkan apa yang ada di dalam kamar mandi. Gw jadi ingat sama cerita tentang orang yang melihat ‘sesuatu’ di kamar mandi mereka.
Gw biarkan lampu kamar mandi menyala hingga pagi.
**
Gw semakin berani dalam menghadapi malam. Tapi diam-diam gw juga makin takut karena, seperti dalam cerita, suara-suara adalah awal sebelum datang yang namanya... yah, sesuatu yang kelihatan. Kalian tahu apa sebutannya.
Hal baru yang datang berikutnya adalah suara ‘Gludug-gludug’ di atas plafon. Benar, itu pasti hanya kucing atau, jika tidak, tikus yang sangat besar. Kontrakan gw sebelumnya juga ada yang seperti ini. Hanya saja suara yang ini sedikit beda. Yang ini tidak terdengar seperti langkah tikus yang sedang berlari, namun lebih seperti sesuatu yang menggelinding pelan, ‘gludug... gludug... gludug...’
Bahkan gw sangat yakin malam itu si ‘gludug-gludug’ berhenti tepat di atas gw tidur.
Itu hanya tikus yang sedang jalan-jalan. Titik.
**
Sudah hampir dua minggu gw berhasil melewati malam di rumah baru ini. Gw sama sekali tak menceritakan pengalaman-pengalaman gw pada teman-teman, karena gw yakin itu semua hanya sugesti. Dan menceritakan pada mereka bisa berarti gw mengakui bahwa gw sedang diganggu.
Saat itu malam minggu. Gw termasuk orang yang malas keluar karena bakal ketemu macet. Jadi malam itu gw habiskan dengan main game sambil nunggu kick off klub bola favorit gw dimulai.
Hampir tengah malam ketika gw mematikan komputer untuk pindah ke depan tivi dan hujan mulai mengguyur atap-atap rumah. Cukup deras. Gw sampai kesulitan mendengarkan obrolan komentator di tivi. Sesekali guntur bergemuruh. Lalu, samar-samar, gw mendengarnya...
Tangis bayi.
Anjrit. Apa lagi ini.
Dari suara-suara yang gw dengar selama ini, suara inilah yang paling membuat gw takut setengah mati. Bulu kuduk gw langsung berdiri dan jantung gw mendadak gedor-gedor tak jelas.
Itu cuma kucing, bego! Kucing emang suka seperti itu suaranya kalo malem.
Benar. Itu hanya kucing. Ini cuma sugesti. Sugesti gara-gara gw ketakutan di rumah sendirian. Sugesti gara-gara gw senang baca cerita-cerita hantu padahal gw penakut.
Antara yakin dan tidak, gw menajamkan telinga. Suara itu hilang timbul, bercampur dengan derasnya hujan, datang dari kebun samping sepertinya. Gw semakin merinding. Gw bisa mendengarkan darah gw sendiri yang kini bergemuruh di telinga, degup jantung yang dua kali lebih cepat, dan tubuh yang rasanya seperti diguyur air. Gw komat-kamit baca doa.
Gw ketakutan.
Gw berlari ke kamar untuk ngambil hetset dan gw lakukan apa yang selalu gw lakukan selama ini.
**
Paginya gw terbangun sekitar jam 06.00. Buru-buru gw ambil wudhu dan ngejar sholat subuh.
Ada suara-suara di luar. Mungkin ada kerja bakti?
Gw membuka pintu dengan malas. Dan apa yang gw temukan selanjutnya langsung membuat sekujur tubuh gw gemetaran. Orang-orang sedang berkumpul di kebun samping rumah gw, berdengung ramai, ada pedagang keliling yang berhenti, ada ibu-ibu yang hendak berbelanja berhenti, ada mobil polisi, beberapa polisi...
Gw sudah tahu sebelum ikut melihat apa yang sedang mereka lihat. Gw sudah tahu sebelum mereka semua berkumpul di sana. Sebelum ada yang menemukannya...
Petugas sedang mengambil beberapa foto, tak kuasa menahan beberapa warga yang ikut-ikutan mengambil gambar dengan ponsel mereka. Gw melihat ketika kardus yang rusak dan penuh air itu diangkat dari dalam selokan. Gw tak ingin lihat apa yang ada di dalamnya.
Polisi mendatangi rumah gw beberapa saat kemudian, menanyai ini-itu sementara gw menjawab dengan mata berair dan suara bergetar. Mereka tidak menyalahkan gw. Ada warga lain yang juga mendengar tangisnya. Seseorang yang mengaku wartawan datang setelahnya. Gw menjawab pertanyaannya tapi tidak memberinya izin untuk menulis tentang gw di berita mereka. Gw menolak wartawan lain yang datang setelahnya.
Mereka bilang bayi mungil itu masih hidup saat seseorang meletakkannya di kebun di samping rumah gw. Tapi hujan turun dengan derasnya sebelum ada orang yang sempat melihat untuk menyelamatkannya. Air hujan mengisi kardus si bayi sedikit demi sedikit. Beban yang bertambah dan permukaan landai membuat kardus itu meluncur masuk selokan. Itu selokan yang kecil dan penuh dengan ranting karena tak pernah dibersihkan. Kardus itu tertahan di sana sementara air terus meninggi. Si bayi semalaman di dalamnya. Di bawah guyuran hujan yang katanya baru reda sekitar pukul 03.00.
Gw tak tahu berapa lama dia sanggup bertahan sebelum air akhirnya menghentikan tangisnya untuk selamanya.
Andaikan gw tak termakan sugesti. Andaikan gw bukan penakut. Andaikan gw mau mengambil payung dan memeriksa barang sebentar saja...
Gw masih tak bisa tidur. Tak peduli gw sumpal kuping gw pakai hetset atau tidak, suara itu terus saja terdengar.
Tuliskan Cerita Horor kamu dapatkan 15 Ribu
Posting Komentar untuk "Sugesti Rumah Gue Yang Baru"