Ketika terjadi kecelakaan lalu lintas, seringkali muncul kebingungan dan kepanikan. Banyak yang belum tahu bahwa menyita Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) pelaku kecelakaan adalah tindakan yang tidak dibenarkan, meskipun niatnya untuk mengamankan situasi. Bahkan, korban kecelakaan bisa terancam menjadi tersangka jika melakukan penyitaan tersebut.
Dalam banyak kasus, masyarakat yang merasa menjadi korban sering kali langsung menyita SIM atau STNK pelaku kecelakaan sebagai bentuk tindakan pengamanan. Hal ini dianggap langkah tepat dan wajar. Namun, tindakan ini justru berlawanan dengan hukum.
Mengapa bisa begitu?
Pasalnya, menyita SIM atau STNK hanya boleh dilakukan oleh pihak berwenang, yaitu polisi.
Informasi ini disampaikan oleh akun Instagram resmi Regional Traffic Management Center (RTMC) Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Barat. “Lumrah dilakukan oleh sejumlah pengendara ketika terjadi kecelakaan. Korban biasanya meminta STNK atau SIM pada pihak yang dinilai menjadi pelaku. Tindakan seperti penahanan surat tersebut justru tidak diperkenankan. Ini malah menjadi tindakan yang melanggar aturan,” tulis akun @rtmcpoldajabar, dikutip Kompas.com.
Melalui akun tersebut, Ditlantas Polda Jawa Barat juga membagikan dasar-dasar hukum terkait larangan bagi masyarakat sipil menyita SIM dan STNK saat terjadi kecelakaan.
Dalam banyak kasus, masyarakat yang merasa menjadi korban sering kali langsung menyita SIM atau STNK pelaku kecelakaan sebagai bentuk tindakan pengamanan. Hal ini dianggap langkah tepat dan wajar. Namun, tindakan ini justru berlawanan dengan hukum.
Mengapa bisa begitu?
Pasalnya, menyita SIM atau STNK hanya boleh dilakukan oleh pihak berwenang, yaitu polisi.
Informasi ini disampaikan oleh akun Instagram resmi Regional Traffic Management Center (RTMC) Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Barat. “Lumrah dilakukan oleh sejumlah pengendara ketika terjadi kecelakaan. Korban biasanya meminta STNK atau SIM pada pihak yang dinilai menjadi pelaku. Tindakan seperti penahanan surat tersebut justru tidak diperkenankan. Ini malah menjadi tindakan yang melanggar aturan,” tulis akun @rtmcpoldajabar, dikutip Kompas.com.
Dasar hukum rujukan terkait persoalan ini adalah Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Tiga pasal yang menjadi acuan utama adalah Pasal 89 ayat (2), Pasal 236, dan Pasal 260 ayat (1) huruf d. Berikut penjelasan ketiga pasal tersebut:
Pasal 89 Ayat (2) UU LLAJ: "Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi sebelum diputus oleh pengadilan."
Pasal 236 UU LLAJ: "(1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. (2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat."
Pasal 260 Ayat (1) Huruf d UU LLAJ: "(1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang: d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti."
Kasi Standar Cegah dan Tindak Ditkamsel Korlantas Polri, Kompol Ronald Andry Mauboy, seperti dilansir dari Gridoto.com juga mengungkapkan hal serupa.
Dijelaskannya, menahan surat-surat penabrak merupakan tindakan melawan hukum.
Tiga pasal yang menjadi acuan utama adalah Pasal 89 ayat (2), Pasal 236, dan Pasal 260 ayat (1) huruf d. Berikut penjelasan ketiga pasal tersebut:
Pasal 89 Ayat (2) UU LLAJ: "Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi sebelum diputus oleh pengadilan."
Pasal 236 UU LLAJ: "(1) Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. (2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat."
Pasal 260 Ayat (1) Huruf d UU LLAJ: "(1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang: d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti."
Kasi Standar Cegah dan Tindak Ditkamsel Korlantas Polri, Kompol Ronald Andry Mauboy, seperti dilansir dari Gridoto.com juga mengungkapkan hal serupa.
Dijelaskannya, menahan surat-surat penabrak merupakan tindakan melawan hukum.
"(Penahanan) hanya boleh dilakukan petugas hukum. Itu tidak bisa, itu sudah masuk privasi orang, malah bisa dituntut balik lagi," ujar Andry.
Kecuali dalam situasi di mana pelaku berusaha melarikan diri dan belum ada petugas di tempat kejadian, kesepakatan bersama bisa menjadi solusi sementara.
Budiyanto, seorang pemerhati masalah transportasi dan hukum, menambahkan bahwa penyitaan surat-surat kendaraan oleh korban dapat dipahami dalam konteks manusiawi, namun tetap tidak dapat dibenarkan.
"Bahwa kita adalah negara hukum, sehingga penyelesaian peristiwa yang terjadi di ruang publik seperti kecelakaan lalu lintas wajib diselesaikan dengan cara mekanisme hukum yang benar," kata Budiyanto, mengutip Kompas.com.
Budiyanto, seorang pemerhati masalah transportasi dan hukum, menambahkan bahwa penyitaan surat-surat kendaraan oleh korban dapat dipahami dalam konteks manusiawi, namun tetap tidak dapat dibenarkan.
"Bahwa kita adalah negara hukum, sehingga penyelesaian peristiwa yang terjadi di ruang publik seperti kecelakaan lalu lintas wajib diselesaikan dengan cara mekanisme hukum yang benar," kata Budiyanto, mengutip Kompas.com.
Pengecualian
Menurut Tri Jata Ayu Pramesti, seperti dikutip dari Hukumonline, mereka yang menabrak bagian belakang kendaraan cenderung salah dan wajib mengganti rugi. Namun, ada beberapa poin yang membuat pengendara yang menabrak dari bagian belakang ini dikecualikan dari kewajiban tersebut.
Kecelakaan lalu lintas adalah peristiwa yang tidak diduga dan tidak disangka, serta merupakan peristiwa pidana yang penanganannya harus dilakukan oleh aparat yang berwenang. Penanganan yang salah, seperti penyitaan SIM dan STNK oleh korban, dapat memperburuk situasi dan menimbulkan masalah hukum baru.
Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mematuhi prosedur hukum yang berlaku demi keadilan dan ketertiban bersama.
Ada beberapa pengecualian yang tidak mengharuskan pengendara mengganti rugi, seperti yang tertuang dalam Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ. Pengecualian tersebut meliputi tiga poin berikut:
- Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan pengemudi.
- Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga.
- Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Kecelakaan lalu lintas adalah peristiwa yang tidak diduga dan tidak disangka, serta merupakan peristiwa pidana yang penanganannya harus dilakukan oleh aparat yang berwenang. Penanganan yang salah, seperti penyitaan SIM dan STNK oleh korban, dapat memperburuk situasi dan menimbulkan masalah hukum baru.
Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mematuhi prosedur hukum yang berlaku demi keadilan dan ketertiban bersama.
Posting Komentar untuk "Mengapa Korban Kecelakaan Tidak Boleh Menyita SIM dan STNK Pelaku: Penjelasan Hukum dan Implikasinya"